Sunday, April 27, 2008

Kelaparan & gizi buruk

KHUDORI Penulis peminat masalah sosial ekonomi pertanian dan globalisasi.

Kasus gizi buruk kembali merenggut korban. Di Kab Rote Ndao, NTT, hingga 10 Maret 2008, tercatat lima balita (Dei Henukh, Ribka Lette, Linto Sui, Mikael Ukad,dan Natanael Luewanan) meninggal. Sebelum itu, media massa memberitakan seorang ibu yang hamil tujuh bulan meninggal bersama anaknya yang berusia lima tahun di rumah mereka di Kota Makassar, salah satu kota lumbung padi negeri ini. Semula,kematian istri dan anak penarik becak itu dianggap tragedi biasa. Namun, kejadian ini kemudian menjadi luar biasa setelah diketahui di rumah mereka tidak ada beras. Logikanya, tidak ada beras karena tidak ada uang untuk membeli.

Tidak sanggup membeli beras karena disergap kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi. Meskipun beras tersedia di pasar, mereka tidak mampu mengakses pangan.Apa yang disimpulkan peraih nobel ekonomi Amartya Sen untuk kasus kelaparan di Bangladesh pada 1943 yang menewaskan lebih satu juta jiwa berlaku di sini.Menurut Sen,kelaparan di Bangladesh terjadi bukan karena tak ada makanan di pasar,tapi warga sudah terlalu miskin sehingga tidak mampu membelinya.Ini berlaku pula bagi balita yang meninggal di Rote Ndao. Sontak moral kita berbicara. Namun, tidak terlalu lama setelah itu,korban busung lapar dan gizi buruk itu segera beralih menjadi penambah data statistik bunuh diri di Indonesia.

Tak lama lagi, rintihan mereka menjelang kematian berpindah ke wilayah lupa. Apabila kematian yang tragis macam itu dengan mudah dilupakan, bisa ditebak bagaimana pula nasib warga yang miskin, tetapi masih mampu bertahan hidup dengan ancaman kelaparan setiap saat.Jumlah mereka yang bernasib seperti ini amat banyak. Di tengah membaiknya indikator makroekonomi,kemiskinan masih jadi momok 37,17 juta jiwa (16,58%) serta gizi buruk dan kurang gizi masih menjangkiti 4,1 juta balita.Dari 24,3 juta rumah tangga petani berbasis lahan (land base farmers),20,1 juta (82,7%) di antaranya bisa dikategorikan miskin.Saat ini ada 100 dari 265 kabupaten/kota (37,8%) yang masuk kategori rawan pangan (Shobar Wiganda et al,2005).

Di kantong-kantong ini,kelaparan dan gizi buruk selalu terjadi,direproduksi, dan berulang tiap tahun. Ketika dituding sebagai tertuduh, pemerintah menepuk dada dengan melansir data-data produksi pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.Rentang 2000–2005,semua sumber pangan karbohidrat strategis mengalami kenaikan: padi 0,82%, jagung 4,56%,kacang tanah 2,71%, sedangkan kedelai 3,94%.Demikian pula pangan sumber protein hewani: daging sapi 5,84%,daging ayam 9,31%,telur 7,96%,dan ikan 6,0%. Susu satu-satunya yang turun (minus 5,33%). Kinerja pangan yang membaik tersebut membuat ketersediaan energi per kapita pada 2005 (agregat) mencapai 3.151 kkal dan 75,31 gram protein per kapita per hari.

Nilai tersebut melampaui angka yang direkomendasikan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi: 2.200 kkal dan 52 gram protein per kapita/hari. Namun,data makro ini tidak mencerminkan kondisi di tingkat rumah tangga.Apa gunanya angkaangka pangan melimpah kalau kelaparan dan gizi buruk masih merebak? Pada 2005,jumlah energi rata-rata yang dikonsumsi penduduk 1.997 kkal per kapita per hari, jauh dari rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi dan ketersediaan energi nasional.Data ini menunjukkan ketersediaan energi (pangan) yang melimpah tidak mengalir kepada yang memerlukan. Pangan hanya mengalir kepada yang berduit. Siapa yang bertanggung jawab atas kelaparan dan gizi buruk?

Menurut Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari, pemerintah daerah yang paling bertanggung jawab.Dia menyodorkan data: dari Rp 600 miliar dana untuk penanganan gizi buruk pada 2007,sebanyak 87% digelontorkan ke daerah. Pemerintah pusat hanya kebagian secuil (13%).Maka itu,menurut Menkes,kalau gizi buruk masih meruyak (meluas),pemerintah daerahlah yang harus bertanggung jawab.Di sini persoalan muncul. Logika linier Menkes bisa dipahami dari sisi otonomi daerah dan desentralisasi: penyerahan kewenangan plus dana ke daerah.

Dalam Undang-Undang (UU) No 22/1999 dan UU revisinya (UU No 32/2004) tentang Otonomi Daerah, yurisdiksi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah demikian jelas.Masalah gizi, termasuk ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan pangan yang terjangkau, tersedia tiap saat (panen atau paceklik) dalam jumlah cukup dan bisa diakses siapa saja telah didesentralisasikan ke daerah (pemerintah kabupaten/kota). Pemerintah pusat hanya mengurusi lima hal: pertahanan,fiskal,moneter, agama,dan luar negeri. Tidak seperti paradigma pembangunan top downyang sentralistik, mematikan inisiatif lokal,tidak mengakar (uncoupling) dan miskin partisipasi,desain soal gizi yang bottom up punya tiga keunggulan.

Pertama, manfaat-manfaat proximity. Artinya,disain penanganan gizi bersifat lokal sehingga sesuai kebutuhan setempat. Kedua, karena dekat dengan wilayah dan memenuhi aspirasi lokal, partisipasi mudah tumbuh dan kreativitas berkembang. Ketiga, karena sesuai kebutuhan lokal, kontinuitas akan terjaga. Tepatkah masalah penangan gizi nasional diserahkan ke daerah (kabupaten/ kota)? Apakah kebijakan penangan gizi nasional merupakan penjumlahan terhadap kebijakan masing-masing daerah otonom? Atau sebaliknya,kebijakan masalah gizi dirancang secara agregat dan pelaksanaannya diserasikan dengan kepentingan daerah?

Bagaimana nasib orang miskin yang kini masih dominan, baik di desa maupun di kota? Pertanyaan-pertanyaan ini mendesak dijawab jika insiden busung lapar tak ingin terjadi dan berulang. Tidak selamanya desentralisasi bermakna positif. Selama ini otonomi membuat daerah (kabupaten/- kota) merdeka.Kontrol pusat berkurang sehingga daerah bisa leluasa mengalokasi anggaran pembangunan sesuai kebutuhan. Namun,saat dana alokasi umum dari pusat hanya cukup buat belanja pegawai,program-program pembangunan sosial,termasuk penanganan gizi, disunat,bahkan dihapus. (*)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini-sore/gizi-buruk-tanggung-jawab-siapa-3.html

No comments: